Volubit.id — Dua mantan mahasiswa Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang masih berusia 21 tahun, Karun Kaushik dan Selin Kocalar, baru saja meraih pendanaan Seri A senilai $32 juta atau sekitar Rp520 miliar, dengan valuasi perusahaan mencapai $300 juta. Pendanaan ini dipimpin oleh Insight Partners, enam bulan setelah mereka mengumumkan putaran pendanaan awal (seed round) sebesar $3 juta.
TechCrunch melaporkan, startup mereka, Delve, mengembangkan teknologi AI Agent untuk mengotomatisasi proses kepatuhan terhadap berbagai regulasi.
Seiring pertumbuhan pengguna dan minat investor yang datang tanpa dicari, Delve menerima beberapa tawaran investasi hingga akhirnya memilih Insight Partners sebagai mitra jangka panjang.
Valuasi Delve kini melonjak hampir 10 kali lipat dibandingkan awal tahun 2025. Jumlah pelanggan mereka pun naik drastis, dari 100 perusahaan pada Januari menjadi lebih dari 500 saat ini, termasuk beberapa startup AI yang sedang naik daun seperti Lovable, Bland, dan Wispr Flow.
Meski kini terlihat sukses besar, perjalanan Delve dimulai dengan cara yang jauh berbeda. Kaushik dan Kocalar pertama kali bertemu sebagai teman sekelas di tahun pertama kuliah di MIT.
Mereka sama-sama tertarik pada AI dan teknologi kesehatan. Saat pandemi, Kaushik bahkan sempat mengembangkan sistem diagnosis Covid-19 yang digunakan ribuan orang.
Pada 2023, mereka mulai membuat AI assitant untuk mendokumentasikan catatan medis dokter, namun ternyata proses mematuhi aturan privasi medis seperti Health Insurance Portability and Accountability Act (HIPAA) cukup rumit dan mahal.
Daripada melanjutkan proyek tersebut, mereka justru beralih mengembangkan alat untuk membantu perusahaan lain mematuhi regulasi seperti HIPAA dengan lebih cepat dan murah.
Perubahan arah itu membawa mereka ke inkubator startup Y Combinator, lalu membuka jalan menuju pendanaan awal dari investor seperti General Catalyst, FundersClub, dan Soma Capital. Mereka pun memutuskan keluar dari kuliah pada tahun kedua.
Seiring bertambahnya pelanggan, permintaan pun meluas, tak hanya HIPAA, tapi juga ke standar lain seperti System and Organization Controls 2 (SOC 2), Payment Card Industry (PCI), General Data Protection Regulation (GDPR), dan International Organization for Standardization (ISO).
Masalahnya, proses kepatuhan ini biasanya rumit dan sangat manual, padahal penting untuk peluncuran produk hingga menutup kesepakatan bisnis.
“Kerangka kerja kepatuhan itu standar, tapi bisnis tidak. Karena itulah software lama tidak cukup, dan tim akhirnya mengandalkan cara-cara seadanya seperti email, Slack, dan Google Drive,” ujar Kocalar.
Delve menggantikan kerja manual itu dengan AI agent yang bekerja di belakang layar setelah terintegrasi dengan sistem pelanggan. Agen ini mengumpulkan bukti, menulis laporan, memperbarui log audit, dan melacak perubahan konfigurasi, yang semuanya otomatis dan real-time.
Menurut Kocalar, compliance hanyalah pintu masuk. Tujuan jangka panjang Delve adalah mengotomatiskan miliaran jam kerja administratif lainnya, termasuk di bidang keamanan siber, manajemen risiko, dan tata kelola internal.
Meski begitu, Delve tidak sendirian. Semakin banyak perusahaan AI yang menciptakan agen untuk mengotomatisasi proses bisnis, bahkan lab AI besar seperti OpenAI juga mengembangkan agen umum untuk menyelesaikan berbagai tugas kompleks.
Namun, Kocalar melihat perkembangan ini sebagai penguat, bukan ancaman. Ia menekankan, keunggulan Delve terletak pada pemahaman mendalam terhadap bidang compliance yang terus berubah.
“Kami siap tumbuh seiring berkembangnya teknologi agen AI. Tapi yang membedakan kami adalah pengetahuan spesifik mendalam yang kami tanamkan ke dalam platform. Regulasi terus berubah, dan tiap perusahaan punya interpretasi berbeda. Di situlah Delve unggul,” kata dia.


