Harga Bitcoin Turun Lagi, Siklus 4 Tahun Kripto Comeback?

Volubit.id — Harga Bitcoin kembali melemah tajam. Dalam 24 jam terakhir, aset kripto terbesar di dunia itu turun sekitar 3%, dari kisaran $110.500 menjadi sekitar $107.250. Dalam sepekan, penurunannya bahkan mencapai hampir 7%. Koreksi besar ini menyeret pasar kripto secara keseluruhan, dengan kapitalisasi global menyusut lebih dari $400 miliar dan likuidasi posisi long mencapai sekitar $463 juta.

Kondisi ini memunculkan kembali perdebatan lama yang sempat dianggap usang di kalangan pelaku pasar: apakah siklus empat tahunan Bitcoin—yang berputar di sekitar momentum halving—masih relevan? Sejak pertengahan tahun 2025, banyak yang beranggapan bahwa pola klasik itu mulai kehilangan kekuatan seiring masuknya likuiditas institusional, ETF spot, dan model permintaan baru yang tak lagi murni bergantung pada pasokan. Namun, gelombang penurunan kali ini tampaknya memaksa teori itu kembali ke meja analisis.

Bos CryptoQuant, Ki Young Ju menilai, penurunan harga kali ini masih tergolong normal jika siklus empat tahunan memang sudah tak lagi berlaku. Artinya, pasar hanya sedang mengalami fase pendinginan alami setelah reli panjang. Namun, jika ternyata siklus tersebut masih memegang pengaruh historisnya, maka tekanan harga yang terjadi bisa menjadi pertanda bahwa pasar tengah memasuki awal fase bearish baru.

CryptoQuant mendasarkan analisisnya pada Profit and Loss (P&L) Index, indikator yang menggabungkan tiga metrik penting dari data blockchain: Market Value to Realized Value (MVRV), Net Unrealized Profit/Loss (NUPL), dan Spent Output Profit Ratio (SOPR). Ketiganya digunakan untuk membaca keseimbangan antara keuntungan dan kerugian yang dipegang investor secara agregat.

MVRV membandingkan harga pasar Bitcoin dengan harga rata-rata ketika koin terakhir berpindah tangan. Jika nilainya terlalu tinggi, itu menandakan sebagian besar investor tengah menikmati keuntungan besar—situasi yang kerap berujung pada aksi ambil untung dan koreksi harga. NUPL menunjukkan sejauh mana keuntungan atau kerugian belum direalisasi, sedangkan SOPR memperlihatkan apakah transaksi yang dilakukan di pasar menghasilkan laba atau rugi bagi pelaku pasar.

Dengan menggabungkan ketiga data ini, P&L Index dapat memberikan gambaran menyeluruh tentang kondisi psikologis pasar. Nilai indeks di atas 1 umumnya menunjukkan euforia berlebih atau harga yang overvalued, sementara angka di bawah -1,38 sering menandakan pasar undervalued dan menjadi momen menarik bagi akumulasi investor jangka panjang. Saat ini, rata-rata pergerakan 365 harinya berada di kisaran 0,64 yang artinya haraga BTC belum overvalued.

Sejak akhir Oktober, Bitcoin perlahan kehilangan tenaga. Penurunan kali ini menandai salah satu momen koreksi terpanjang setelah sempat mencetak rekor tertinggi sepanjang masa di $126.080 pada 6 Oktober 2025. Situasi ini sekaligus mencatatkan “Red October” pertama sejak 2018, bulan merah pertama bagi Bitcoin dalam enam tahun terakhir.

Level $106.400 kini dinilai menjadi titik kunci dalam struktur harga. Titik ini berulang kali berfungsi sebagai area pivot yang menentukan arah tren sejak akhir 2024. Ketika harga menembus di atasnya, pasar cenderung melanjutkan kenaikan hingga ke kisaran $108 ribu; namun setiap kali gagal mempertahankan level ini, harga kembali tertekan hingga ke kisaran menengah $90 ribu. Pola ini berulang beberapa kali sepanjang 2025, menunjukkan betapa kuatnya pengaruh level tersebut terhadap perilaku harga Bitcoin.

Jika dilihat dari data historis, siklus bullish pasca-halving terpanjang sebelumnya berlangsung selama 546 hari. Kini, pasar telah melampaui hari ke-562 sejak halving terakhir. Secara statistik, durasi ini bisa menandakan puncak dari fase kenaikan, sehingga risiko koreksi jangka menengah meningkat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *