Apa itu TPS Blockchain dan Bagaimana Cara Kerjanya

Volubit.id — Dalam jagat blockchain, kecepatan adalah salah satu kunci. Saat semakin banyak orang menggunakan jaringan kripto, dari sekadar kirim token sampai beli NFT atau main gim berbasis blockchain, muncul pertanyaan sederhana tapi penting: secepat apa transaksi bisa diproses?

Di sinilah istilah TPS, atau transactions per second, muncul sebagai indikator vital.

Kalau kamu pernah bertanya-tanya kenapa satu blockchain terasa lebih cepat dari yang lain, atau mengapa proyek baru sering mengklaim punya performa lebih tinggi dari Ethereum atau Bitcoin, besar kemungkinan mereka sedang bicara soal TPS.

Lantas, apa itu TPS blockchain dan bagaimana cara kerjanya?

Apa itu TPS Blockchain?

TPS adalah ukuran berapa banyak transaksi yang bisa diproses oleh sebuah jaringan blockchain dalam satu detik. Angka ini penting karena semakin tinggi TPS, semakin cepat pula jaringan blockchain bisa menangani permintaan pengguna.

Logikanya, jika blockchain diibaratkan jalan raya, maka TPS adalah jumlah mobil yang bisa lewat dalam satu detik tanpa macet. Semakin lebar jalannya (atau semakin canggih sistemnya), semakin banyak mobil yang bisa lewat, dan perjalanan jadi lancar.

Sekarang bayangkan ada seseorang sedang mengirim kripto, membeli NFT, atau bahkan memainkan game berbasis blockchain. Semua aksi itu adalah transaksi yang harus divalidasi dan dicatat dalam sistem.

Jika terlalu banyak orang mengakses jaringan secara bersamaan, sementara TPS-nya rendah, maka transaksi akan menumpuk—efeknya, waktu tunggu makin lama dan biaya transaksi pun bisa melambung tinggi.

TPS yang rendah memang menjadi salah satu masalah klasik blockchain generasi pertama. Bitcoin, misalnya, hanya mampu memproses sekitar 7 transaksi per detik.

Ethereum, sebagai blockchain yang mendukung smart contract, juga tidak jauh berbeda di versi aslinya, meski kini sudah mulai mempercepat performa melalui berbagai upgrade teknis seperti Ethereum 2.0 dan penggunaan solusi layer 2 (L2).

Bandingkan dengan Visa atau Mastercard yang bisa memproses ribuan transaksi per detik. Maka tak heran, ketika banyak orang mulai menggunakan blockchain untuk keperluan yang lebih luas—bukan hanya investasi tapi juga untuk aplikasi keuangan, gim, dan bahkan media sosial—isu TPS jadi sorotan utama.

Bagaimana Cara Kerjanya?

Untuk memahami bagaimana TPS bekerja, kita perlu sedikit mengintip ke dalam dapur blockchain itu sendiri. Setiap transaksi di jaringan harus melalui proses verifikasi oleh node atau validator. Setelah divalidasi, transaksi dikumpulkan dalam blok, lalu blok itu ditambahkan ke rantai (chain).

Proses ini memakan waktu, tergantung pada konsensus yang digunakan dan seberapa cepat jaringan menyusun blok baru. Semakin cepat proses validasi dan pembentukan blok, semakin tinggi pula angka TPS-nya.

Blockchain generasi baru seperti Solana dan Avalanche datang dengan pendekatan berbeda untuk meningkatkan TPS. Solana, misalnya, menggabungkan mekanisme konsensus Proof of Stake dengan sistem unik bernama Proof of History. Dengan metode ini, Solana mampu mengatur urutan waktu antar transaksi lebih efisien, memungkinkan TPS-nya mencapai puluhan ribu.

Sedangkan Avalanche, di sisi lain, menggunakan struktur yang memungkinkan banyak transaksi berlangsung paralel dalam sub-jaringan. Pendekatannya membuat sistem ini lebih lincah dibanding blockchain klasik.

Bukan Tolak Ukur Tunggal

Kendati vital, TPS bukan satu-satunya metrik yang menentukan kualitas sebuah blockchain. Kecepatan memang penting, tapi stabilitas, keamanan, dan desentralisasi juga tak kalah vital. Bahkan dalam banyak diskusi, muncul istilah blockchain trilemma, yaitu dilema antara memilih tiga hal yang sulit dicapai secara bersamaan: kecepatan, keamanan, dan desentralisasi.

Semakin tinggi TPS biasanya berarti harus mengorbankan salah satu dari dua aspek lainnya.

Proyek-proyek blockchain pun kini berlomba-lomba mencari solusi. Beberapa memilih jalur L2, seperti Optimism dan Arbitrum di jaringan Ethereum.

L2 ini bekerja dengan “mengangkat” sebagian beban transaksi ke lapisan di atas blockchain utama, lalu hasil akhirnya dicatat ke jaringan utama. Strategi ini cukup berhasil menaikkan TPS tanpa harus mengubah struktur dasar blockchain itu sendiri.

Di sisi lain, ada juga pendekatan sharding, seperti yang direncanakan Ethereum 2.0. Sharding berarti memecah jaringan menjadi bagian-bagian kecil (shard) yang bisa bekerja secara paralel. Masing-masing shard bisa memproses transaksi sendiri, sehingga secara keseluruhan TPS bisa meningkat drastis.

Jadi, TPS bukan sekadar angka teknis yang hanya dimengerti developer. Angka ini berdampak langsung pada pengalaman pengguna: dari waktu tunggu, biaya transaksi, hingga keandalan sistem.

Dalam dunia blockchain yang semakin ramai digunakan untuk hal-hal praktis seperti pembayaran, pinjaman, dan hiburan, TPS bisa jadi pembeda utama antara jaringan yang bisa bertahan dan yang hanya ramai sesaat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *