Volubit.id — Yield farming merupakan salah satu istilah yang jamak ditemui dalam jagat kripto. Istilah ini baru popular di dunia kripto dan belum pernah digunakan dalam dunia keuangan tradisional, meskipun ada beberapa konsep yang mirip.
Yield farming sendiri merupakan cara bagi para pemilik aset kripto untuk mendapatkan imbal hasil atau “yield” dari aset mereka dengan cara tertentu. Singkatnya, yield farming merupakan salah satu teknik atau strategi yang bisa dilakukan untuk memperoleh pendapatan tambahan di dunia kripto.
Apa itu Yield Farming?
Yield farming adalah praktik mengunci atau meminjamkan aset kripto untuk mendapatkan annual percentage yield (APY) alias tingkat pengembalian investasi dalam bentuk tambahan kripto.
Praktik ini sering kali dilakukan melalui platform decentralized finance (DeFi). Yield farming bisa dianggap sebagai cara untuk “menyekolahkan” aset kripto di penyedia likuiditas atau liquidity pool (LP).
Dalam instrumen keuangan tradisional, yield farming ini mirip dengan deposito, reksa dana, dan sebagainya, di mana nasabah menyekolahkan uang mereka dengan imbalan dalam bentuk bunga.
Jika dalam pasar keuangan praktik ternak uang ini jamaknya dilakukan lewat perbankan atau sekuritas, maka yield farming kripto dapat dilakukan di semua protokol DeFi, termasuk decentralized exchange (DEX) atau platform simpan/pinjam (lending/borrowing).
Bagaimana Cara Kerja Yield Farming?
Yield farming dalam dunia kripto bekerja dengan cara menyediakan likuiditas ke platform DeFi, mirip dengan konsep deposito, reksa dana, atau obligasi dalam instrumen keuangan tradisional.
Dalam deposito berjangka misalnya, nasabah menyetor sejumlah uang ke bank untuk jangka waktu tertentu dan sebagai imbalannya, mereka menerima bunga atas deposito tersebut.
Demikian pula, dalam yield farming, pengguna menyetor aset kripto mereka ke dalam pool likuiditas dan sebagai imbalannya, mereka menerima imbal hasil berupa token tambahan atau bunga.
Untuk melakukan yield farming dalam protokol DeFi, langkah pertamanya adalah pengguna harus memiliki sejumlah aset tertentu yang disediakan di pool protokol DeFi.
Di protokol lending, aset yang dibutuhkan biasanya hanya satu aset, seperti USDT, ETH, BNB, WBTC, dst. Sementara di DEX, aset yang dibutuhkan biasanya sepasang atau dua aset.
Contohnya, protokol lending Aave menyediakan pool lending bagi ETH, maka pengguna yang ingin melakukan yield farming di Aave hanya perlu menyetorkan ETH di pool tersebut.
Sedangkan di DEX, sebut saja Uniswap yang menyedikan LP pasangan ETH-USDT misalnya, pengguna yang ingin melakukan yield farming harus memiliki kedua aset tersebut.
Biasanya, protokol memberlakukan ketentuan 1:1 dalam suplai aset di LP. Artinya, kedua aset yang akan disuplai harus memiliki nilai setara. Misalnya, Bangbang ingin melakukan yield farming di pool ETH-USDT Uniswap, maka ia harus memiliki jumlah ETH senilai USDT. Bila harga pasar 1 ETH saat Bangbang hendak menginput suplai adalah $3.400, maka Bangbang harus memiliki 3.400 USDT. Atau, 0.5 ETH dan 1.700 USDT; 0.25 ETH dan 850 USDT; 0.1 ETH dan 360 USDT, dst.
Selanjutnya, pengguna dapat mengunci suplai aset kripto mereka ke dalam LP. Pool ini digunakan oleh platform DeFi untuk menyediakan likuiditas bagi transaksi di platform tersebut.
Protokol DeFi membutuhkan likuiditas untuk memastikan kelancaran operasionalnya. Likuiditas yang cukup memungkinkan pengguna untuk melakukan transaksi dengan slippage minimal, menjaga stabilitas harga, dan memastikan bahwa aset dapat dibeli atau dijual tanpa menyebabkan perubahan harga yang signifikan.
Jika likuiditas tidak cukup, slippage transaksi akan tinggi dan membuat nilai aset kripto yang diperdagangkan menyusut tajam. Kondisi ini akan membuat protokol tersebut akan dihindari pengguna alias ditinggalkan.
Karena pentingnya likuiditas ini, maka protokol DeFi biasanya memberikan insentif sebagai imbalannya. Pengguna yang melakukan yield farming akan mendapatkan imbal hasil, yang biasanya dalam bentuk token kripto tambahan.
Imbal hasil ini bisa berasal dari biaya transaksi yang dibayarkan oleh pengguna lain yang menggunakan likuiditas dalam pool tersebut atau dari insentif tambahan yang diberikan oleh platform DeFi.
Yield farmer yang cerdas akan terus mencari peluang untuk memaksimalkan penghasilan mereka dengan memindahkan aset mereka antara berbagai pool dan platform DeFi untuk mendapatkan imbal hasil tertinggi.
Besaran APY yang diberikan protokol DeFi bagi penyedia LP maupun lending aset beragam, biasanya, semakin volatil aset dan tinggi risiko gejolak harganya, maka APY-nya akan lebih besar. Sebaliknya, aset yang lebih stabil dan memiliki risiko harga yang lebih rendah cenderung menawarkan APY yang lebih rendah.
Rentang APY yang dijanjikan protokol DeFi beragam antara di bawah 1% hingga ribuan persen. Biasanya, protokol DeFi akan mengobral APY tinggi bagi token yang baru dilaunching, karena mereka membutuhkan likuiditas bagi perdagangan token tersebut.
Risiko Yield Farming
Walaupun bisa sangat menguntungkan, yield farming juga memiliki risiko. Salah satu risiko utamanya adalah impermanent loss, yaitu kerugian yang terjadi ketika nilai aset yang disimpan dalam pool likuiditas berubah drastis dibandingkan dengan waktu awal ketika disimpan.
Impermanent loss terjadi bila harga satu aset, misalnya ETH, naik. Contoh saat pengguna melakukan suplai ETH-USDT saat harga ETH $3.600, pengguna akan mengalami kerugian secara tidak langsung bila harga ETH ternyata naik ke $5.000 dalam empat bulan.
Dengan asumsi APY 10% selama empat bulan (sekitar 3,33%) misalnya, tambahan bunga yang diperoleh dari total nilai awal ($7.200) adalah sekitar $240. Sehingga total nilai aset setelah bunga adalah $7.440.
Bila tidak disekolahkan, nilai 1 ETH ditambah 3.600 USDT menjadi $8.600, lebih tinggi daripada nilai penarikan dari LP. Terlebih jika dana awal $7.200 dibelikan 2 ETH, maka jumlahnya akan menjadi $10.000.
Pool DeFi sendiri memiliki mekanisme untuk menyeimbangkan total nilai likuiditas agar tetap konstan berdasarkan nilai setoran awal. Bila dana setoran awal $7.200, maka nilai deposit yang dihitung tetap sama meski hara aset naik atau turun.
Impermanent loss ini hanya terjadi di LP DEX, sedangkan di protokol lending, impermanent loss tidak akan terjadi. Walau demikian, ada risiko smart contract yang bisa dieksploitasi oleh hacker, baik di DEX maupun protokol lending.
FROM CLASSROOM
TO THE MOON
Jadilah bagian dari kelas kripto eksklusif pertama di Bandung
Daftar sekarangMEMBERSHIP
Jadilah bagian dari kelas kripto eksklusif pertama di Bandung
Daftar sekarang