Ketika Hype Berujung Rugi, Mengenal Exit Liquidity dalam Dunia Kripto

Volubit.id — Beberapa trader kripto mungkin pernah membeli aset kripto yang ‘menjanjikan’, tetapi alih-alih mendapatkan profit, justru membantu orang lain keluar pasar dengan meraup untung besar. Kondisi ini dalam dunia kripto umum dikenal dengan istilah exit liquidity trap.

Biasanya, dalam jebakan ini, investor tanpa sadar memberi likuiditas kepada pengembang proyek atau investor lama yang sudah siap menjual aset mereka. Setelah harga token naik cukup tinggi, para pemilik lama akan melakukan aksi jual besar-besaran yang pada akhirnya membuat harga token anjlok.

Pada titik ini, investor baru hanya bisa gigit jari karena aset yang dibelinya sudah kehilangan nilai. Sayangnya, banyak trader yang baru menyadari jebakan ini setelah aksi exit liquidity terjadi.

Apa itu exit liquidity dan bagaimana mengenali ciri-cirinya agar tak ikut terjebak? Berikut penjelasannya.

Apa itu Exit Liquidity?

Dalam sektor keuangan tradisional, istilah exit liquidity biasanya merujuk pada pembeli yang mengambil alih saham dari investor awal dalam momen seperti initial public offering (IPO) atau akuisisi. Namun di dunia kripto, istilah ini punya makna yang lebih negatif.

Exit liquidity dalam kripto terjadi saat pembeli tanpa sadar dimanfaatkan oleh penjual yang ingin melepas token yang sudah tak lagi bernilai. Risiko ini semakin besar mengingat banyaknya token baru yang diluncurkan setiap hari.

Ada banyak cara seseorang bisa terjebak dalam skenario exit liquidity, mulai dari skema pump and dump, proyek yang gagal, manipulasi pasar, hingga FOMO.

1. Skema Pump and Dump

Dalam skema pump and dump, sekelompok orang sengaja memompa harga sebuah proyek token lewat promosi yang dilakukan secara masif. Ketika harga naik, investor baru akan berebut masuk karena takut ketinggalan hype.

Namun, saat harga sudah tinggi, para pelaku akan menjual seluruh token mereka sehingga menyebabkan harga token anjlok tajam. Investor baru pun rugi besar.

Menurut platform Chainalysis, jumlah token yang dirilis pada 2024 mencapai 2.063.519 token dan 74.037 di antaranya diduga menggunakan skema pump and dump.

2. Kegagalan Proyek Kripto

Selain itu, kegagalan proyek karena masalah keuangan, peretasan, atau isu hukum juga bisa membuat nilai token jatuh. Hal yang sama terjadi jika suatu token terkena pengawasan ketat dari regulator atau di-delisting dari exchange besar. Dalam situasi ini, likuiditas hilang dan menjual token menjadi sulit.

3. Manipulasi Pasar

Praktik manipulasi pasar, seperti wash trading atau spoofing, juga berkontribusi menciptakan ilusi permintaan tinggi yang sebenarnya tidak nyata. Bahkan, beberapa penjualan token memang sudah dirancang sebagai aksi penipuan sejak awal. Para pengembangnya akan menjanjikan proyek hebat lalu menghilang setelah membawa kabur dana investor.

4. FOMO

Salah satu penyebab utama banyak investor terjebak dalam exit liquidity adalah fear of missing out (FOMO). FOMO adalah dorongan emosional untuk membeli sesuatu karena takut ketinggalan peluang untung.

FOMO membuat investor mengambil keputusan terburu-buru tanpa riset. Mereka tergoda tren, lupa manajemen risiko, dan fokus pada keuntungan jangka pendek.

Dorongan ini biasanya dipicu oleh lonjakan harga mendadak, hype di media sosial, tekanan dari sesama trader, atau bahkan rasa penyesalan karena tak ikut membeli sebelumnya.

Cara Deteksi Exit Liquidity

Untuk menghindari jebakan merugikan ini, penting bagi investor kripto untuk mengenali tanda-tandanya. Berikut beberapa tanda bahaya yang perlu diwaspadai, dilansir dari Cointelegraph.

1. Klaim Berlebihan

Proyek dengan skema pump and dump biasanya kerap mengumbar janji keuntungan besar. Selain itu, distribusi tokennya tidak merata karena sebagian besar token hanya dimiliki oleh sedikit wallet.

2. Transaksi Mencurigakan Pembelian dalam Jumlah Besar

Jika dalam proyek baru terdapat transaksi mencurigakan berupa pembelian dalam jumlah besar atau bundled buys, bisa dipastikan proyek tersebut scam. Pembelian besar biasanya dilakukan untuk memanipulasi distribusi token sehingga proyek tampak lebih meyakinkan dari yang sebenarnya.

Di jaringan Solana, untuk mendeteksi bundled buys, trader bisa menggunakan GeckoTerminal. Saat mencari token yang diinginkan, lihat bagian kanan layar yang menampilkan GT Score.

Di bagian Soul Scanner, trader bisa melihat “Bundled Buy %” yang menunjukkan persentase token yang dibeli melalui teknik ini. Informasi ini bisa memberi gambaran tentang aktivitas pembelian besar pada token tertentu.

3. Koin Overhyped

Waspadai koin yang dipromosikan besar-besaran, tetapi tidak punya fundamental yang kuat atau hanya punya sedikit utilitas. Biasanya harga koin seperti ini naik tajam dalam waktu singkat karena didorong oleh influencer, tapi cepat anjlok setelahnya.

Pengembang sering kali memanfaatkan momen ini untuk menjual token milik mereka sendiri setelah harga naik.

Contohnya Bitconnect yang diluncurkan 2016, yang mengklaim mampu memberikan imbal hasil tinggi lewat algoritma trading khusus. Tapi model multi-level marketing dan janji keuntungan yang tidak realistis membuat banyak orang curiga proyek ini adalah skema Ponzi.

Pada Januari 2018, Bitconnect tiba-tiba menutup layanan borrow-lending dan platform exchange sehingga harga token jatuh dari $525 menjadi kurang dari $1. Banyak investor mengalami kerugian besar.

4. Tim Pengembang Tak Jelas

Proyek kripto yang tidak mencantumkan identitas anggota tim tentunya patut dicurigai. Jika identitas pengembang tidak bisa diverifikasi, maka tidak ada jaminan mereka akan bertanggung jawab.

Anonimitas semacam ini bisa membuat pengembang kabur membawa uang investor. Kurangnya transparansi juga menyulitkan untuk menilai apakah proyek ini asli atau hanya tipu-tipu.

Strategi Hindari Exit Liquidity

Investor kripto wajib memahami cara menghindari exit liquidity trap agar tak terjebak; dalam situasi tidak bisa menjual aset, sementara harga tiba-tiba jatuh. Berikut beberapa strategi yang bisa membantu melindungi investasi dari risiko ini.

1. Pilih koin dengan kapitalisasi pasar tinggi

Koin dengan kapitalisasi pasar besar umumnya lebih stabil dan likuid. Artinya, lebih mudah untuk membeli atau menjual tanpa menyebabkan perubahan harga secara drastis.

Sebaliknya, koin dengan kapitalisasi pasar kecil cenderung sangat fluktuatif dan sering kali kekurangan likuiditas sehingga trader berisiko terjebak dengan aset yang sulit dijual. Selalu periksa kapitalisasi pasar dan volume perdagangan sebelum berinvestasi.

2. Pilih proyek dengan komunitas aktif

Komunitas yang aktif menjadi indikator penting dalam mengetahui likuiditas sebuah koin. Jika ada banyak investor yang aktif memperdagangkan koin tersebut, maka permintaan akan cenderung stabil sehingga risikonya lebih kecil.

Carilah proyek yang sering didiskusikan di media sosial, selalu mendapatkan upgrade dari pengembang, dan memiliki aktivitas beli-jual yang sehat di exchange.

3. Hindari skema pump-and-dump

Waspada pada koin yang tiba-tiba viral tanpa adanya fundamental yang jelas. Lakukan riset menyeluruh dan hindari proyek yang “too good to be true”.

Periksa juga apakah ada periode vesting token, karena aksi jual mendadak dari pengembang bisa menjatuhkan harga dan membuat investor rugi besar.

4. Gunakan exchange kripto terpercaya

Exchange besar seperti Binance atau Coinbase bisa memberikan jaminan likuiditas yang lebih baik dan proses jual-beli yang lebih lancar. Platform terpercaya biasanya melakukan evaluasi ketat sebelum melakukan listing token. Meski tetap ada risiko, exchange besar biasanya hanya melakukan delisting koin jika ada alasan serius.

5. Ikuti perkembangan regulasi terbaru

Peraturan yang berubah-ubah bisa berdampak besar pada investasi kripto. Kebijakan hukum bisa mempengaruhi nilai aset, strategi investasi, dan bahkan legalitas koin itu sendiri. Tetap update dengan aturan yang berlaku agar bisa menyesuaikan strategi dan menjaga stabilitas portofolio.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *