M2 Money Supply dan Pengaruhnya Terhadap Bitcoin

Volubit.id — Likuiditas global adalah salah satu faktor yang menentukan arah pergerakan harga aset, tak terkecuali Bitcoin. Di tengah ekosistem kripto yang kerap dianggap liar dan sukar diprediksi, indikator seperti M2 Money Supply justru memberi gambaran yang cukup konsisten tentang napas pasar. Ketika M2 yang mencerminkan jumlah uang beredar mengembang, aliran dana cenderung lebih longgar. Investor lebih berani mengambil risiko, dan aset-aset spekulatif seperti Bitcoin sering ikut terangkat oleh dorongan likuiditas itu.

Sebaliknya, saat bank sentral mengetatkan kebijakan moneter hingga M2 melambat atau menyusut, likuiditas global menegang. Ruang untuk mengambil risiko mengecil, arus modal ke aset-aset berisiko mengendur, dan Bitcoin pun kerap bergerak lebih defensif. Relasi ini tidak selalu linear, tetapi cukup kuat untuk menunjukkan bahwa Bitcoin, meskipun lahir sebagai alternatif sistem finansial, tetap tak benar-benar lepas dari denyut uang beredar dunia.

Apa itu M2 Money Supply?

M2 money supply adalah indikator ekonomi makro yang mengukur total jumlah uang beredar dalam suatu ekonomi. Menurut Federal Reserve (The Fed), M2 terdiri dari M1 yaitu uang tunai dan deposito yang dapat segera diakses ditambah dengan aset-aset likuid lainnya.

M2 berfungsi sebagai barometer kesehatan ekonomi dan kebijakan moneter. Ketika bank sentral ingin merangsang ekonomi, mereka meningkatkan suplai uang melalui berbagai mekanisme seperti menurunkan suku bunga atau melakukan pembelian obligasi pemerintah dan sekuritas lainnya, yang dikenal sebagai pelonggaran kuantitatif (quantitative easing). Sebaliknya, untuk mendinginkan ekonomi yang terlalu panas atau mengendalikan inflasi, bank sentral dapat mengurangi pasokan uang.

Ekspansi M2 dalam Konteks Historis

Sepanjang tahun 2000 hingga 2019, M2 money supply AS meningkat dengan kecepatan yang relatif stabil dan dapat diprediksi. Namun, pandemi COVID-19 mengubah segalanya. Sebagai respons terhadap krisis kesehatan global, The Fed menurunkan suku bunga dari 2% menjadi 0% dan melakukan injeksi likuiditas yang belum pernah terjadi sebelumnya ke dalam ekonomi global. Hasilnya adalah lonjakan luar biasa dalam M2 pada tahun 2020 dan 2021.

Setelah periode ekspansi ekstrem tersebut, M2 mengalami penurunan ketika The Fed mulai mengetatkan kebijakan moneter untuk memerangi inflasi yang tinggi. Namun, data terkini menunjukkan bahwa M2 kembali menunjukkan tren kenaikan.

Sepanjang 2025, pertumbuhan M2 global menunjukkan ekspansi yang cukup signifikan. Suplai M2 tumbuh dari $118,5 triliun pada kuartal pertama menjadi 120,2 $triliun pada kuartal kedua, dengan kenaikan kuartalan mencapai sekitar 1,4%. Laju ini menguat pada kuartal ketiga, ketika M2 naik ke $122,1 triliun, atau sekitar 1,6% dibanding kuartal sebelumnya. Memasuki akhir tahun, proyeksi menuju $124,5 triliun menandai pertumbuhan kuartalan sekitar 2%, memperlihatkan percepatan injeksi likuiditas.

Secara year-to-date (YTD), kenaikan dari awal tahun ke proyeksi akhir Desember berkisar 5%, lebih kuat dibanding fase stagnasi 2023–2024 yang hanya bergerak tipis di sekitar 1–2%. Namun, laju ini tetap jauh lebih tenang dibanding periode COVID-19, ketika bank sentral global memompa stimulus besar-besaran dan pertumbuhan M2 tahunan melonjak dua digit. Dengan demikian, 2025 menjadi tahun normalisasi likuiditas: tidak lagi sedahsyat masa pandemi, tetapi lebih ekspansif daripada dua tahun pengetatan yang mendahuluinya.

Pengaruh M2 terhadap Bitcoin

Kenapa M2 money supply mempengaruhi harga Bitcoin? Ada beberapa mekanisme yang menjelaskan hubungan ini:

Kenaikan M2 sering bergerak seiring dengan naiknya minat terhadap Bitcoin. Ketika bank sentral menurunkan suku bunga atau membeli sekuritas, likuiditas dalam sistem keuangan melonjak. Uang lebih mudah dipinjam, modal lebih longgar, dan pasar mulai mencari tempat pendaratan baru. Dalam situasi seperti ini, aset berisiko termasuk Bitcoin kerap mendapat limpahan perhatian karena dianggap menawarkan peluang imbal hasil yang lebih tinggi dibanding instrumen konvensional.

Ekspansi moneter juga memunculkan kecemasan tersendiri. Pertumbuhan pasokan uang menimbulkan bayang-bayang inflasi, membuat daya beli mata uang fiat terlihat rapuh. Bitcoin, dengan suplai tetap 21 juta, lalu tampil sebagai alternatif yang digadang-gadang lebih tahan terhadap erosi nilai. Narasi “emas digital” menemukan momentumnya justru ketika jumlah uang beredar melaju di luar kebiasaan.

Lalu, ada pula dinamika psikologis yang tak kalah menentukan. Pasar membaca langkah bank sentral menggelontorkan likuiditas sebagai sinyal bahwa sebagian dari aliran uang itu pada akhirnya akan mencari aset berimbal hasil lebih tinggi. Ekspektasi semacam ini cukup untuk menggerakkan arus pembelian dini, menciptakan momentum yang secara perlahan mengerek harga Bitcoin.

Fenomena Time Lag dalam Korelasi M2 dengan Bitcoin

Salah satu aspek menarik dari hubungan M2-Bitcoin adalah adanya keterlambatan waktu (time lag) antara perubahan M2 dan respons harga Bitcoin. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa Bitcoin secara historis mengikuti pasokan uang global dan dengan jeda tiga hingga enam bulan, terutama selama perubahan likuiditas.

Hasil analisis yang dilakukan oleh beberapa platform menunjukkan bahwa ketika M2 disesuaikan dengan lag 90 hari, korelasi dengan harga Bitcoin menjadi sangat jelas. Ini berarti perubahan dalam pasokan uang membutuhkan waktu sekitar tiga bulan untuk sepenuhnya tercermin dalam harga Bitcoin. Fenomena ini menjelaskan mengapa Bitcoin sering kali mulai rally sebelum puncak likuiditas, berfungsi sebagai indikator yang melihat ke depan, mengantisipasi ekspansi moneter dan bereaksi sebelum pasar lain mengejar.

Korelasi Historis antara M2 dengan Bitcoin

Hubungan antara pertumbuhan M2 dan harga Bitcoin telah menjadi topik penelitian yang menarik di kalangan pelaku industri kripto. Data historis menunjukkan adanya korelasi yang kuat. Ketika M2 global berkembang, Bitcoin cenderung mengalami pasar bullish, sementara stagnasi atau kontraksi M2 sering kali bertepatan dengan periode penurunan atau konsolidasi harga Bitcoin.

Pola ini terlihat jelas selama beberapa periode kunci. Antara 2015 hingga 2018, ketika pertumbuhan M2 berlanjut dengan kecepatan stabil, harga Bitcoin mengalami rebound yang menjanjikan setelah koreksi pada 2019. Namun, periode paling dramatis terjadi selama pandemi COVID-19. Ekspansi M2 yang cepat bertepatan dengan salah satu pasar bullish Bitcoin yang paling eksplosif. Laju paabolik BTC saat itu juga didorong oleh investor yang mencari aset sebagai lindung nilai terhadap inflasi dan devaluasi mata uang.

Secara historis sepanjang 2025, hubungan M2 dengan Bitcoin sebetulnya berjalan sangat dinamis tanpa pakem yang stabil. Pada Februari 2025, M2 global mulai menunjukkan kenaikan baru. Dengan menggunakan model lag 90 hari, lonjakan ini mulai terwujud di pasar Bitcoin pada Mei 2025, ketika Bitcoin pulih dari fase konsolidasi di bawah 80.000 dolar untuk kembali melampaui 100.000 dolar. Pada 8 Mei 2025, Bitcoin mencapai puncak 104.000 dolar, hampir tepat sejalan dengan kurva M2 yang tertinggal.

Tapi, tren setelah Mei menunjukkan dinamika yang menarik. Pada Juni, Bitcoin mencapai $107 ribu. Momentum positif ini sejalan dengan data M2 yang mencatat laju pertumbuhan tahunan tercepat sejak Juli 2022. Pada Juli, Bitcoin mengalami lonjakan menuju $123 ribu, didorong oleh ekspansi likuiditas yang berkelanjutan dan sentimen institusional yang kuat.

Setelahnya, terjadi koreksi moderat pada Agustus di mana Bitcoin turun sekitar 6,5% dari puncaknya, mencerminkan pola musiman yang sering terjadi. Pada September, Bitcoin kembali naik 5,16% secara bulanan. Oktober menjadi bulan yang dramatis. Bitcoin pertama kali melonjak ke rekor tertinggi sepanjang masa mendekati $126 ribu. Namun, sayang Bitcoin kemudian jatuh kembali di bawah $100 ribu di tengah arus keluar ETF dan konsolidasi pasar. November melanjutkan tekanan penurunan dengan Bitcoin turun lebih jauh ke sekitar $84.000, menandai koreksi sekitar 33% dari puncak Oktober.

Yang menarik, pola ini tidak sepenuhnya sejalan dengan model M2 lag 90 hari yang sempurna. Jika melihat M2 pada Juni-Juli 2025 yang menunjukkan pertumbuhan berkelanjutan, maka dengan lag 90 hari, September-Oktober seharusnya melihat kekuatan Bitcoin yang berkelanjutan. Faktanya, Bitcoin memang mencapai ATH pada Oktober, namun diikuti dengan koreksi tajam yang tidak sepenuhnya dijelaskan oleh perubahan M2 saja. Kondisi mengindikasikan bahwa faktor-faktor lain seperti profit-taking institusional, arus keluar ETF, dan sentimen pasar jangka pendek juga memainkan peran krusial.

Kondisi Terkini M2 dan Implikasi untuk Bitcoin

Dalam lanskap makroekonomi belakangan ini, arus likuiditas kembali menjadi bahan perbincangan panas. M2 global mulai menunjukkan tanda-tanda ekspansi setelah sempat tertekan dalam periode kontraksi dan stagnasi. Data menegaskan tren itu: M2 AS bergerak naik dari bulan ke bulan, sementara likuiditas global menyentuh rekor terbaru.

Di saat yang sama, Bitcoin tetap bergulir dalam volatilitas khasnya sepanjang 2024–2025. Setelah menembus rekor lebih dari $115 ribu pada September, harga mengalami koreksi dan saat ini berada di kisaran $92.000. Pola seperti ini sejalan dengan siklus historisnya, ketika fase reli kuat biasanya diikuti masa konsolidasi.

Inflow dari institusi besar semakin menguatkan pasar. Persetujuan ETF Bitcoin spot di AS membawa gelombang partisipasi baru. Pergerakan harga dolar AS juga menambahkan lapisan lain pada dinamika pasar. Korelasi negatif antara Bitcoin dan Indeks Dolar AS (DXY) kembali terlihat jelas. DXY merosot 10,8% pada paruh pertama 2025, kejatuhan terburuk sejak runtuhnya sistem Bretton Woods pada 1973. Dalam rentang yang sama, Bitcoin tetap naik 13,25%, mempertegas hubungan terbalik antara keduanya.

Kritik terhadap Korelasi M2 dengan Bitcoin

Kehadiran model yang mengaitkan ekspansi M2 dengan pergerakan harga Bitcoin memang memunculkan pola menarik, namun tidak berarti tanpa cela. Korelasi jangka pendek kerap bergerak liar. Fluktuasi seperti itu mengingatkan bahwa hubungan jangka pendek tak selalu menggambarkan mekanisme yang stabil.

Selain itu, metrik M2 juga tidak sepenuhnya menangkap elemen likuiditas baru dalam ekosistem kripto. Suplai stablecoin misalnya, bisa menjadi indikator yang bahkan lebih kuat daripada M2 global.

Struktur kepemilikan Bitcoin juga turut memengaruhi akurasi model. Konsentrasi yang besar di tangan segelintir whale membuat pasar rawan bergeser hanya oleh satu transaksi besar. Pergerakan individual semacam itu dapat membubarkan pola yang ingin ditangkap korelasi M2.

Dalam jangka panjang, kematangan pasar Bitcoin sendiri bisa mengubah hubungan ini. Integrasi yang semakin dalam dengan pasar keuangan tradisional, pertumbuhan produk institusional, hingga ketentuan regulasi baru akan memperkenalkan variabel-variabel tambahan. Respons Bitcoin terhadap perubahan likuiditas global mungkin tidak lagi sama seperti beberapa tahun sebelumnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *