Volubit.id — Penerbut stablecoin USDC, Circle mengumumkan rencana yang memicu perdebatan hangat di dunia kripto. Perusahaan ini mengatakan akan meluncurkan blockchain Layer 1 (L1) bernama Arc yang difokuskan untuk kebutuhan institusi.
Blockchain Arc digadang-gadang akan menjadi infrastruktur inti untuk pergerakan uang yang teregulasi secara global, sekaligus menopang sistem keuangan terdistribusi. Namun, di balik visi ambisius itu, muncul kekhawatiran serius soal sentralisasi dan tata kelola.
Salah satu kritik dilontarkan oleh Dosen Columbia Business School, Omid Malekan yang memelototi risiko sentralisasi jaringan. Menurutnya, semakin terpusat penerbit asetnya, semakin penting bagi aset tersebut untuk hidup di blockchain yang terdesentralisasi. Alasannya sederhana: jaringan publik dapat menjadi “penjaga” agar penerbit tidak bertindak sewenang-wenang.
“Semakin terpusat sebuah aset, semakin penting ia berada di infrastruktur terdesentralisasi—agar penerbitnya tetap jujur. Circle jauh lebih kecil kemungkinannya untuk melakukan sensor terhadap USDC di Ethereum ketimbang di jaringan privat milik mereka sendiri,” tutur Omid.
This is why a stablecoin-specific L1 will never have any other valuable assets or activity beyond it’s own payments. https://t.co/yeh2VAPpwT
— Omid Malekan 🧙🏽♂️ (@malekanoms) August 12, 2025
Circle sebagai penerbit USDC akan jauh lebih berhati-hati jika harus melakukan sensor pada stablecoin di Ethereum dibandingkan jika USDC berada di blockchain privat. Ethereum menjadi rumah bagi ekosistem decentralized finance (DeFi) yang besar, dengan miliaran dolar dalam bentuk USDC berputar di protokol seperti Uniswap dan Aave. Jika Circle tiba-tiba melakukan sensor besar-besaran di sana, dampaknya bisa merusak ekosistem DeFi Ethereum dan memicu arus keluar dana. Akibatnya, permintaan terhadap USDC akan turun—merugikan Circle secara langsung.
Sebaliknya, di jaringan privat atau permissioned chain atau blockchain terpusat yang sepenuhnya dikontrol penerbit, risiko sensor lebih tinggi. Ekosistem semacam itu biasanya tidak memiliki aset kripto berkualitas tinggi (high-quality liquid assets), tidak menarik bagi pengguna kripto berpengalaman, dan jarang memiliki aktivitas DeFi yang signifikan. Hilangnya kepercayaan di jaringan seperti itu tidak akan menimbulkan kerugian sebesar jika terjadi di Ethereum.
“Jaringan terdesentralisasi memaksa penerbit aset terpusat untuk menghormati resistensi terhadap sensor, bahkan di situasi ketika mereka sebenarnya mampu melakukannya secara teknis. Berargumen sebaliknya sama saja seperti mengatakan bahwa karena semua perbankan tradisional terpusat dan bank bisa menyensor nasabahnya, maka tidak masalah punya rekening di Inggris atau Korea Utara,” terang Omid.
Kritik lebih tajam datang dari Adam Cochran, mitra di Cinneamhain Ventures, yang menyebut Arc bukanlah blockchain publik sejati, melainkan consortium chain atau jaringan yang dijalankan oleh sekumpulan validator privat. Menurutnya, desain ini memungkinkan transaksi dibatalkan melalui protokol sengketa, dan penggunaan USDC sebagai token utama justru menghilangkan insentif ekonomi bagi validator untuk bertindak independen.
Circle seindiri dalam pengumumannya menyebut Arc dirancang untuk memproses hingga 3.000 transaksi per detik dengan finalisasi di bawah 350 milidetik menggunakan 20 validator. Bahkan, dengan hanya empat validator, jaringan ini diklaim mampu mencapai 10.000 transaksi per detik dengan finalisasi di bawah 100 milidetik.
Blockchain Arc dirancang untuk kompatibel dengan Ethereum Virtual Machine (EVM) dan akan menggunakan USDC sebagai token gas utama. Circle juga berencana memanfaatkan Arc untuk menampung real world assets seperti obligasi, saham yang ditokenisasi, dan dana investasi institusional.
FROM CLASSROOM
TO THE MOON
Jadilah bagian dari kelas kripto eksklusif pertama di Bandung
Daftar sekarangMEMBERSHIP
Jadilah bagian dari kelas kripto eksklusif pertama di Bandung
Daftar sekarang