Revisi UU P2SK Bikin Ekosistem Kripto Indonesia Rentan Guncangan Sistemik

Volubit.id — Gelombang kekhawatiran kembali mengambang di industri kripto Indonesia dipicu rancangan revisi Undang-Undang P2SK yang dinilai bisa menciptakan kerentanan sistemik. Aturan yang dimaksudkan untuk memperkuat perlindungan investor dinilai pelaku industri justru berpotensi menciptakan titik rawan baru, mulai dari risiko peretasan berskala besar sampai hilangnya peluang arbitrase yang selama ini membuat pasar kripto lokal tetap kompetitif.

Poin paling krusial muncul di Pasal 215C ayat 9 yang mewajibkan sentralisasi sistem perdagangan aset digital pada satu bursa tunggal. Sentralisasi mungkin terlihat menarik dari sudut pandang pengawasan. Namun dalam cakrawala exchange kripto, pemusatan sistem justru dianggap membuka pintu lebar bagi risiko terburuk.

CEO Triv, Gabriel Rey De Leroy, tidak menutup-nutupi kekhawatirannya. Ia menegaskan bahwa pemusatan sistem berarti rentan pada guncangan sistemik. Jika selama ini gangguan teknis pada satu exchange tidak langsung menjalar ke yang lain, maka pada model baru semua exchange akan bergantung pada satu infrastruktur inti.

“Ini akan menjadi single point of failure. Karena kita tahu kripto ini terjadi peretasan bolak-balik… Apalagi ini semua satu Indonesia mau dijadikan di satu mangkok, satu cawan. Ini kan seperti honey pot untuk hacker,” kata Rey disitat dari wanwancara dengan CNBC Indonesia.

Rancangan revisi beleid sapu jagatsektor keuangan inimengatur seluruh sistem fondasi aktivitas perdagangan yang saat ini tersebar di berbagai exchange akan ditarik ke satu titik yang dikendalikan bursa tunggal. Sistem tersebut mencakup infrastruktur, arsitektur keamanan, dan harga yang berbeda.

Di industri kripto global, bursa berskala besar saja masih kerap bobol. Karena itu, Gabriel menilai pemusatan infrastruktur kripto Indonesia malah meningkatkan risiko keamanan.

Dalam skenario yang dibayangkan pelaku industri, satu gangguan di bursa tunggal bukan hanya bisa menghentikan perdagangan, tetapi berpotensi melumpuhkan seluruh pasar kripto nasional. Gangguan ersebu bisa berupa serangan siber, kesalahan sistem, atau sekadar maintenance tak terduga. Selama ini, kendala teknis pada satu exchange tidak serta-merta menjalar ke yang lain. Dengan sentralisasi, jaringan penyangga ini akan hilang.

Dari sisi ekonomi, revisi UU P2SK juga diperkirakan menampar keras para pelaku tradig arbitrase yang memanfaatkan perbedaan harga di berbagai exchange. Operasi yang selama ini menyumbang likuiditas pasar dan mengurangi spread harga itu berpotensi lenyap karena seluruh pedagang dipaksa berada dalam satu harga tunggal.

“Kalau ini dihilangkan, maka peluang para investor untuk melakukan arbitrase atau untuk melakukan perdagangan ini akan semakin mengecil.”

Lebih jauh, hilangnya peluang arbitrase dan harga kompetitif bisa memicu gejolak baru dalam rupa arus dana keluar. Pada saat infrastruktur lokal tak lagi menarik, pelaku yang membutuhkan harga dinamis dan likuiditas tinggi cenderung berpindah ke bursa global yang tak dibatasi model monopoli seperti rancangan P2SK.

Dari sisi industri, revisi UU juga membuka pintu pada risiko gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Jika sistem perdagangan dipusatkan, exchange kehilangan fungsi teknis vital mereka seperti pengelolaan order book, infrastruktur perdagangan, hingga penanganan sistem internal.

“Yang pasti bakal ada PHK di semua exchange karena saat ini kan exchange seperti Triv, seperti teman-teman saya yang lain, semua beroperasi secara mandiri. Kita mengelola sistem kita sendiri, kita mengelola order book sendiri, dan kalau ini terpusat di satu titik, dikuasai oleh satu bursa, maka saya yakin terjadi gelombang PHK di semua exchange,” katanya.

Soal lain muncul dari ketentuan Pasal 312 A yang mewajibkan penyelenggaraan perdagangan aset digital terpusat maksimal dua tahun setelah undang-undang berlaku. Menurut pelaku industri, tenggat tersebut tidak realistis.

Kondisi pasar yang selama bertahun-tahun dibangun bersama Bappebti, OJK, dan pelaku usaha sejak 2019 dinilai sudah berjalan baik. Karena itu, kewajiban monopoli perdagangan yang diatur dalam Pasal 312A sampai C dipandang tidak perlu. Sentralisasi justru dianggap langkah mundur.

“Tidak boleh suatu perdagangan itu dimonopoli oleh satu perusahaan. Makanya saya bilang harusnya Pasal 312 A sampai C ini ditiadakan dari P2SK yang baru, karena tetap seperti sekarang pun semua sudah berjalan dengan baik, tertata dengan baik dan tidak perlu adanya perubahan monopoli ataupun perubahan infrastruktur perdagangan kripto,” kata dia.

Regulator menurutnya tentu punya niat baik untuk melindungi investor. Namun Rey mengingatkan bahwa industri kripto tumbuh cepat dan cenderung tak cocok dengan model pengawasan terpusat. Apalagi Indonesia sebenarnya memiliki ekosistem yang lengkap, mulai dari bursa, kliring, kustodian, dan exchange yang terlapor semua. Bahkan, di kawasan Asia Tenggara, Indonesia memimpin jumlah investor kripto. Ironisnya, keunggulan itu justru terancam oleh regulasi yang terlalu rigid dan berpotensi membatasi gerak pelaku industri di pasar kripto yang bergerak sangant dinamis.

“Salah satu dampaknya memang positifnya investor lebih aman karena semua terlapor, termonitor oleh bursa, ada kustodian dan lain sebagainya. Tapi di satu sisi ada biaya yang harus ditanggung oleh investor. Nah, mungkin salah satu insentif yang bisa dilakukan pemerintah adalah penurunan pajak di industri kripto untuk saat ini,” kata dia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *