Status Komoditas Diubah, Pajak Kripto Indonesia Dinaikkan

Volubit.id — Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tengah menyiapkan revisi penting terhadap kebijakan pajak atas aset kripto. Sebagaimana dilaporkan sejumlah media, perubahan ini muncul sebagai respons terhadap pergeseran mendasar dalam status hukum kripto di Indonesia. Jika sebelumnya kripto diperlakukan sebagai komoditas—layaknya emas atau minyak mentah—melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024, kini posisinya telah bergeser menjadi instrumen keuangan digital.

Perubahan tersebut dipertegas melalui POJK 27/2024 yang dikeluarkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Maka, untuk menjaga keselarasan regulasi lintas lembaga dan menyesuaikan kerangka fiskal dengan dinamika pasar, DJP merasa perlu memperbarui pendekatan perpajakannya.

Peraturan lama, yang dirinci dalam PMK 68/2022, menetapkan dua jenis pajak atas transaksi kripto. Pertama, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 0,11% hingga 0,22%, tergantung apakah transaksi dilakukan melalui exchanger yang terdaftar sebagai Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) atau tidak. Kedua, Pajak Penghasilan (PPh) final sebesar 0,1% untuk setiap penjualan aset kripto. Skema ini cukup ringan dibandingkan pajak di sektor keuangan tradisional, sehingga dinilai sebagai faktor pendorong bagi melonjaknya minat masyarakat terhadap investasi aset digital.

Tapi, mulai 1 Januari 2025, tarif umum PPN akan naik menjadi 12%, dan otomatis berimbas pada tarif pajak atas transaksi kripto. Dalam rancangan revisi PMK tersebut, DJP berencana menyesuaikan besaran PPN menjadi 0,12% untuk transaksi di platform resmi (PFAK) dan 0,24% untuk platform non-PFAK. Meski terjadi kenaikan nominal, PPh final sebesar 0,1% akan tetap dipertahankan, demi menjaga likuiditas pasar dan menghindari beban administratif yang bisa menyulitkan investor ritel.

Perubahan kebijakan ini muncul di tengah pertumbuhan pesat ekosistem kripto di Indonesia. Data dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mencatat bahwa pada tahun 2024, jumlah investor kripto mencapai hampir 23 juta orang ataumeningkat hampir 24% dari tahun sebelumnya. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu pasar kripto ritel terbesar di dunia, dengan karakteristik pengguna yang dominan bertransaksi melalui platform lokal.

Pemerintah tampaknya berupaya mencari titik keseimbangan baru. Di satu sisi, mereka ingin memastikan bahwa penerimaan negara dari sektor kripto tetap optimal, sebagaimana ditunjukkan oleh lonjakan pajak kripto yang tercatat sebesar Rp511,8 miliar pada 2024—naik dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.

Di sisi lain, revisi ini juga menjadi sinyal bahwa otoritas fiskal mulai mengakui kripto sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem keuangan digital yang lebih luas. Harapannya, regulasi baru ini tidak hanya mengisi kas negara, tetapi juga menciptakan ekosistem kripto yang transparan, sehat, dan terintegrasi dengan sistem keuangan nasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *