Volubit.id — Perusahaan teknologi yang ingin menjual teknologi kecerdasan buatan (AI) mereka ke pemerintah Amerika Serikat (AS) kini harus membuktikan chatbot mereka tidak “woke”.
Istilah “woke” awalnya berasal dari bahasa gaul Afrika-Amerika yang berarti “sadar” atau “melek” terhadap isu-isu sosial seperti rasisme, ketidaksetaraan, dan diskriminasi.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kata ini berubah makna di ranah politik konservatif di AS dan sering digunakan secara sinis untuk menyebut pandangan liberal yang dianggap terlalu sensitif atau berlebihan dalam memperjuangkan keberagaman, kesetaraan, dan inklusi.
Pada Rabu lalu, untuk pertama kalinya Pemerintah AS secara terang-terangan mencoba mengatur ideologi dalam sistem AI dengan penandatanganan tiga perintah eksekutif terkait AI oleh Presiden AS Donald Trump. Salah satunya bertujuan untuk mencegah “AI woke” di lembaga pemerintahan.
Perintah eksekutif ini menyasar upaya-upaya internal perusahaan yang dianggap memasukkan ideologi destruktif ke dalam AI, seperti keberagaman, kesetaraan, hingga rasisme.
Trump mengatakan, langkah ini merupakan bagian dari strateginya untuk menyaingi dominasi Cina dalam pengembangan AI, sekaligus menanamkan nilai-nilai Amerika ke dalam teknologi tersebut.
Walaupun industri teknologi umumnya menyambut baik rencana Trump soal AI, perintah yang menyasar “AI woke” ini membuat mereka terjebak.
Mengendalikan cara kerja large language models (LLM) pastinya tidak mudah. Model seperti ini dilatih oleh hampir seluruh isi internet, mulai dari komentar online, suntingan Wikipedia, hingga gambar-gambar yang dibagikan.
Selain data latihannya, desain AI juga dipengaruhi oleh para pekerja, mulai dari para anotator di berbagai belahan dunia hingga insinyur di Silicon Valley yang menyusun instruksi cara AI merespons pengguna.
Beberapa pihak membandingkan pendekatan Trump dengan strategi Cina dalam mengendalikan AI. Cina secara langsung mengaudit dan menyaring AI sebelum digunakan publik, termasuk memblokir konten, seperti tragedi Tiananmen 1989.
Trump tidak menginstruksikan penyaringan langsung. Sebaliknya, perusahaan diminta membuktikan teknologi mereka netral secara ideologi dengan mengungkap kebijakan internal yang memandu chatbot mereka.
Trump bahkan menggunakan istilah “truth-seeking AI”, seperti misi Elon Musk dan chatbot Grok dari perusahaan xAI. Namun belum jelas apakah Grok dan chatbot sejenisnya akan diuntungkan dari kebijakan baru ini.
Ide-ide di balik perintah ini sudah lama dibahas oleh penasihat AI Trump, David Sacks, serta para investor teknologi konservatif lainnya. Salah satu pemicunya adalah image generator AI Google yang sempat membuat potret yang keliru, seperti menggambarkan pendiri Amerika sebagai pria kulit hitam.
Google menjelaskan, kesalahan itu adalah hasil dari upaya perusahaan untuk mengatasi bias sistemik yang cenderung mendewakan orang berkulit putih. Namun, para pendukung Trump menuduh, para pakar AI Google sengaja menyuntikkan agenda sosial mereka.
FROM CLASSROOM
TO THE MOON
Jadilah bagian dari kelas kripto eksklusif pertama di Bandung
Daftar sekarangMEMBERSHIP
Jadilah bagian dari kelas kripto eksklusif pertama di Bandung
Daftar sekarang