Bitcoin Merosot ke $89.000: Panic Selling Naik, ETF Outflow Kian Parah

Volubit.id — Harga Bitcoin kembali turun tajam setelah menembus batas bawah area konsolidasi yang terbentuk dalam beberapa pekan terakhir. Aset kripto terbesar itu kini jatuh di bawah $92.000 dan bahkan sempat menyentuh $89.000, level terendah baru yang membuat kinerja year-to-date (YTD) Bitcoin menjadi negatif untuk pertama kalinya tahun ini.

Tekanan jual yang semakin besar memperpanjang tren pelemahan yang mulai terlihat sejak pekan lalu. Kondisi ini membuat para pelaku pasar mempertanyakan di mana level penopang harga berikutnya akan terbentuk, terutama karena sejumlah indikator on-chain menunjukkan pelemahan yang semakin dalam.

Platform analitik Glassnode dalam laporan mingguan terbarunya mengungkapkan, turunnya harga Bitcoin di bawah $92.000, yang pekan lalu disebut sebagai “zona limbo” menunjukkan adanya risiko koreksi lebih lanjut.

Penurunan hingga $89.000 juga menempatkan harga di bawah level –1 standar deviasi dibandingkan dengan cost basis pemegang jangka pendek atau short-term holder (STH) yang saat ini berada di kisaran $109.500.

Situasi ini menunjukkan, hampir semua investor yang membeli dalam beberapa bulan terakhir kini menanggung kerugian. Dalam sejarah, kondisi seperti ini sering memicu panic selling, yang membuat momentum pasar melemah, dan memperpanjang waktu yang dibutuhkan harga untuk pulih.

Dalam waktu dekat, area $95.000–$97.000 diperkirakan akan berubah menjadi area resisten baru. Jika Bitcoin mampu naik dan menembus kembali zona ini, maka bisa menjadi tanda awal pasar mulai stabil.

Panic Selling Memuncak

Beralih ke perilaku investor, penurunan tajam ini menjadi kali ketiga sejak awal 2024 di mana harga Bitcoin jatuh di bawah batas bawah cost basis STH. Namun, tingkat kepanikan para pembeli di puncak harga kini jauh lebih tinggi dibanding dua kejadian sebelumnya.

Rata-rata realisasi kerugian STH dalam periode 7 hari EMA melonjak hingga $523 juta per hari, level ini merupakan yang tertinggi sejak momen kejatuhan FTX pada 2022.

Tingginya realisasi kerugian ini menunjukkan struktur puncak yang lebih berat di rentang $106.000–$118.000, jauh lebih padat dibanding puncak siklus sebelumnya. Artinya, pasar membutuhkan lonjakan permintaan baru untuk menyerap tekanan jual dari investor yang mengalami kerugian, atau, jika tidak, pasar berpotensi memasuki fase akumulasi yang lebih panjang dan lebih dalam sebelum kembali mencapai titik keseimbangan.

Meski Bitcoin telah jatuh di bawah batas cost basis STH, tingkat rasa sakit yang dialami investor masih jauh dari ekstrem yang terjadi pada bear market 2022–2023. Data menunjukkan jumlah total koin yang saat ini berada pada posisi rugi, dikelompokkan berdasarkan kedalaman unrealized drawdown.

Sekitar 6,3 juta BTC kini berada di zona rugi, yang sebagian besar berada pada rentang kerugian –10% hingga –23,6%. Distribusi seperti ini lebih mirip dengan kondisi pasar sideways jangka pendek pada kuartal I 2022, bukan fase kapitulasi mendalam yang biasanya menandai puncak tekanan jual.

Karena itu, area harga di antara Active Investors’ Realized Price ($88.600) dan True Market Mean ($82.000) dapat menjadi zona penentu yang membedakan apakah pasar akan tetap berada dalam fase bearish ringan atau masuk ke struktur bear market penuh seperti yang terjadi pada 2022–2023.

Minimnya Permintaan dari ETF

Arus dana exchange-traded fund (ETF) Bitcoin spot di Amerika Serikat (AS) kembali menunjukkan pelemahan minat beli, dengan rata-rata arus masuk berada di wilayah negatif dalam beberapa pekan terakhir. Outflow yang terus-menerus ini menandakan keengganan pelaku pasar institusi, khususnya allocator TradFi, untuk menambah eksposur selama periode penurunan harga saat ini.

Kondisi ini jelas kontras dengan fase-fase inflow kuat yang sebelumnya menjadi pendorong utama reli Bitcoin. Kelemahan berkelanjutan ini menunjukkan, selera risiko investor institusi menurun signifikan, sekaligus menegaskan absennya permintaan tambahan dari salah satu kelompok pembeli marginal terbesar di pasar.

Absennya inflow ETF yang konsisten juga menandakan salah satu pilar utama permintaan di siklus ini belum kembali aktif sehingga meninggalkan pasar tanpa sumber tenaga beli yang sebelumnya menjadi pendorong reli harga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *