Volubit.id — Di hari-hari awal memecoin PEPE meluncur, seorang trader bernama Bangbang berniat membeli token tersebut senilai $300 via platform Uniswap. Ia berharap dapat beroleh cuan lebih tinggi jika di kemudian hari harga PEPE naik. Namun niat tersebut akhirnya diurungkan lantaran saat menekan tombol swap, estimasi biaya transaksinya mencapai $500, nyaris dua kali lipat dari modal untuk beli koin. Bangbang yang punya modal cekak tak mau terlalu berspekulasi. Terlebih ada kemungkinan harga memecoin tersebut tidak akan naik terlalu tinggi atau justru malah jatuh lebih dalam.
Hari berganti pekan dan waktu terus berlalu. Harga PEPE naik tajam, viral di mana-mana sampai-sampai dilisting di Binance. Pada puncak harganya, Bangbang bisa saja meraup cuan $25.000 bila ia jadi membeli koin tersebut. Namun, apa mau dikata, Bangbang tidak mendapat keuntungan sepeserpun lantaran dia tak jadi membeli akibat kelewat mahalnya biaya transaksi di jaringan Ethereum. Bangbang tentu menyesal, dan mempertanyakan dengan nada menggungat: kenapa biaya transaksi mahal?
Pengalaman Bangbang bukanlah anomali. Jutaan pengguna di seluruh dunia menghadapi kenyataan pahit bahwa bertransaksi di jaringan Ethereum bisa sangat mahal, bahkan terkadang melebihi nilai transaksi itu sendiri.

Ethereum, blockchain terbesar kedua setelah Bitcoin, telah menjadi tulang punggung ekosistem decentralized app, decentralized finance atau DeFi, dan token non-fungible atau NFT. Namun popularitasnya justru menjadi kutukan tersendiri. Biaya gas cenderung mahal, dan semakin banyak orang yang mencoba memproses transaksi mereka di jaringan, semakin tinggi biayanya.
Biaya transaksi di Ethereum memang cenderung lebih mahal. Alasannya bermula dari satu hal sederhana: kapasitas bloknya sengaja dibuat lebih kecil. Di Ethereum, setiap blok hanya bisa menampung sejumlah perhitungan tertentu, yang dikenal sebagai gas. Ketika terlalu banyak orang ingin bertransaksi pada waktu yang sama, ruang di dalam blok menjadi rebutan. Situasi ini mirip jalan kecil yang dilalui banyak mobil pada jam sibuk sehingga kemacetannya membuat biaya perjalanan ikut naik.
Kapasitas blok adalah batas seberapa banyak transaksi yang dapat dimasukkan dan diproses dalam satu blok ketika blockchain mencatat data baru. Setiap blockchain bekerja seperti mesin pencatat yang terus menambah halaman baru. Halaman inilah yang disebut blok. Tapi setiap halaman punya ruang terbatas. Berapa besar ruang itu, dan bagaimana ruang tersebut diukur, berbeda pada tiap jaringan.
Pada Bitcoin, kapasitas blok dihitung berdasarkan ukuran fisik data, yakni sekitar 1 MB. Setiap transaksi menghabiskan sebagian ruang itu. Jika banyak transaksi masuk bersamaan, blok cepat penuh dan transaksi sisanya harus menunggu blok berikutnya. Sementara Ethereum memakai pendekatan lain. Alih-alih mengukur blok berdasarkan byte, Ethereum mengukur blok berdasarkan jumlah pekerjaan komputasi yang dapat dilakukan, yang disebut gas.
Ethereum mahal karena kapasitas bloknya jauh lebih kecil dibanding banyak blockchain lain. Ethereum hanya memproses sekitar 15–30 juta gas per blok. BNB Chain bisa menampung hingga sekitar 140 juta gas per blok, Polygon sekitar 45 juta, Avalanche sekitar 8 juta tetapi dengan blok jauh lebih cepat, sementara Solana memakai model paralel tanpa batas gas EVM.
Karena ruang Ethereum lebih sempit, transaksi berebut masuk dan harga gas naik. Ethereum sengaja menjaga kapasitas rendah agar node tetap bisa dijalankan dengan hardware biasa, menjaga desentralisasi. Blockchain lain memilih kapasitas jauh lebih besar sehingga biaya bisa ditekan, tetapi dengan konsekuensi kebutuhan hardware validator yang lebih berat.
Interaksi sederhana seperti mengirim ETH membutuhkan gas lebih sedikit dibanding menjalankan smart contract yang kompleks. Karena Ethereum membatasi total gas yang dapat dimuat dalam satu blok, ada titik di mana blok sudah penuh secara komputasi meski ukuran datanya masih muat.
Konsep kapasitas blok ini penting karena menjadi faktor utama cepat atau lambatnya jaringan memproses transaksi. Ketika kapasitas kecil tetapi jumlah transaksi tinggi, jaringan mirip jalan sempit pada jam pulang kerja. Semua orang ingin lewat, tetapi ruang terbatas, sehingga transaksi harus antre. Untuk menghindari antrean panjang, pengguna menaikkan biaya transaksi agar transaksinya diprioritaskan. Inilah sebab utama biaya gas di Ethereum dapat melonjak saat ramai.
Sebaliknya, blockchain lain seperti BNB Chain, Polygon, Avalanche, atau Solana memiliki kapasitas yang lebih besar, baik melalui gas limit yang lebih longgar, waktu blok lebih cepat, atau desain paralel yang dapat mengeksekusi banyak transaksi sekaligus. Dengan ruang yang lebih besar, antrean transaksi lebih pendek dan biaya bisa lebih murah.
Tapi kapasitas blok yang besar juga menuntut validator memiliki perangkat keras lebih kuat agar dapat memproses dan menyebarkan blok besar secara cepat. Tidak semua orang mampu menjalankan node pada kondisi seperti itu, sehingga desentralisasi bisa berkurang.
Karena itu, kapasitas blok bukan sekadar angka teknis. Ia mencerminkan pilihan filosofi setiap blockchain: apakah lebih mengutamakan ruang besar dan biaya murah, atau kapasitas konservatif yang membuat jaringan tetap bisa dijalankan oleh banyak orang di seluruh dunia. Ethereum memilih menjaga kapasitas agar tidak terlalu besar demi memastikan node kecil tetap mampu mengikuti ritme jaringan. Pilihan ini menjaga desentralisasi, meski menimbulkan konsekuensi berupa biaya transaksi yang lebih tinggi.
Ethereum mahal karena kapasitas bloknya jauh lebih kecil dibanding banyak blockchain lain. Ethereum hanya memproses sekitar 15–30 juta gas per blok. BNB Chain bisa menampung hingga sekitar 140 juta gas per blok, Polygon sekitar 45 juta, Avalanche sekitar 8 juta tetapi dengan blok jauh lebih cepat, sementara Solana memakai model paralel tanpa batas gas EVM. Bitcoin berbeda lagi dengan ukuran blok 1 MB. Karena ruang Ethereum lebih sempit, transaksi berebut masuk dan harga gas naik. Ethereum sengaja menjaga kapasitas rendah agar node tetap bisa dijalankan dengan hardware biasa, menjaga desentralisasi. Blockchain lain memilih kapasitas jauh lebih besar sehingga biaya bisa ditekan, tetapi dengan konsekuensi kebutuhan hardware validator yang lebih berat.
Bisakah Transaksi Ethereum Lebih Murah?
Pertanyaan kemudian muncul, bisakah biaya Ethereum turun? Jawabannya kompleks namun sedang terus diupayakan. Transisi Ethereum ke proof-of-stake melalui The Merge pada September 2022 adalah langkah pertama. Transisi Ethereum ke mekanisme konsensus Proof-of-Stake pada September 2022 menghasilkan pengurangan biaya untuk blockchain Bitcoin dan Ethereum. Namun pengurangan ini tidak cukup drastis untuk menyelesaikan masalah biaya tinggi secara menyeluruh.
Solusi yang lebih menjanjikan datang dari Layer 2 (L2) atau rollup yang dibangun di atas Ethereum. Solusi L2 seperti Arbitrum, Optimism, dan Base memproses transaksi di luar blockchain utama Ethereum, kemudian mengirimkan hasilnya dalam batch ke mainnet. Blob memanfaatkan penyimpanan sementara dan pasar biaya terpisah, mengurangi biaya transaksi hingga 98 persen untuk beberapa rollup. Pendekatan ini memungkinkan pengguna berbagi biaya satu transaksi besar dengan banyak peserta, bukan membayar biaya transaksi individual.
Implementasi EIP-4844 melalui upgrade Dencun pada Maret 2024 menjadi tonggak penting. EIP-4844 bekerja dengan memperkenalkan jenis transaksi baru ke Ethereum yang menerima blob data ephemeral. Dengan perubahan ini, biaya di rollup L2 diperkirakan menurun 10 hingga 100 kali lipat.
Hasilnya sudah terlihat. Transaksi di hampir semua L2 hanya membutuhkan biaya berapa sen, rata-rata di bawah $0,1 di saat kondosi jaringan normal atau tak terlalu padat.
Bisakah Biaya Transaksi Ethereum Lebih Murah di Layer 1?
Secara teori transaksi di Ethereum bisa dibuat lebih mudah dan lebih murah langsung di Layer 1, tetapi ruang geraknya sangat terbatas. Untuk memahami kenapa, harus dilihat dulu bagaimana Ethereum dibangun. Lapisan dasarnya memang sengaja dibuat ramping. Kapasitas blok dibatasi, ukuran data yang boleh masuk ke dalam satu blok dikendalikan ketat, dan kebutuhan perangkat keras untuk menjalankan node dibuat serendah mungkin.
Semua ini bukan kebetulan, melainkan keputusan desain. Ethereum ingin memastikan siapa pun, bahkan yang hanya punya komputer biasa di rumah, tetap bisa ikut menjaga jaringan. Semakin banyak orang yang bisa menjadi validator atau menjalankan node penuh, semakin kuat desentralisasinya.
Persoalannya muncul ketika kapasitas transaksi ingin ditingkatkan. Cara paling mudah adalah memperbesar blok atau mempercepat waktu blok. Namun langkah itu punya konsekuensi langsung: ukuran data yang harus disimpan node akan membengkak, bandwidth yang diperlukan akan melonjak, dan sinkronisasi jaringan akan menjadi jauh lebih berat.
Pada titik tertentu, hanya orang-orang dengan server mahal dan koneksi super cepat yang bisa mengikuti. Inilah yang ingin dihindari Ethereum karena akan membuat jaringan lebih tersentralisasi. Jadi, meskipun kapasitas blok bisa dinaikkan, kenaikannya harus sangat hati-hati, kecil, dan bertahap agar tidak merusak sifat dasar jaringan.
Di sisi lain, pengembang Ethereum tidak diam. Ada riset dan upgrade yang dirancang untuk membuat Layer 1 lebih efisien tanpa merusak desentralisasi. Verkle Trees akan meringankan ukuran state sehingga node baru bisa sinkron jauh lebih cepat. EIP-4444 akan membuat node tidak wajib menyimpan seluruh riwayat transaksi hingga bertahun-tahun.
Optimasi eksekusi juga terus dilakukan agar aplikasi lebih hemat gas. Semua itu sedikit demi sedikit memperbaiki kenyamanan pengguna, tetapi tidak akan menciptakan lompatan besar dalam kapasitas seperti yang dilakukan blockchain yang berani mengorbankan desentralisasi demi throughput besar.
Itulah sebabnya Ethereum menempatkan strategi skalabilitasnya pada L2. Layer 1 dibiarkan menjadi fondasi yang kokoh, aman, dan tersebar luas. Layer 2 bertugas menampung lonjakan transaksi dan memberikan biaya yang jauh lebih murah tanpa membebani node di L1.
Kalau Ethereum tiba-tiba memutuskan mengbah haluan total dan memilih menjadi jaringan ber-throughput besar seperti Solana atau BNB, proses upgrade-nya akan sangat kompleks, lama, dan penuh risiko. Bukan cuma soal teknis, tetapi juga soal ekosistem, filosofi desain, hingga konsensus sosial di antara ribuan developer dan ratusan ribu node.
Secara teknis, peningkatan kapasitas blok besar-besaran berarti mengubah hampir semua asumsi dasar protokol. Node harus mampu memproses lebih banyak transaksi per detik, menyimpan state yang jauh lebih besar, dan menjaga sinkronisasi dengan kecepatan yang tidak pernah dirancang sebelumnya. Validator perlu hardware lebih kuat, bandwidth jauh lebih tinggi, dan mekanisme eksekusi harus dirombak supaya tidak bottleneck. Ini bukan satu atau dua EIP; ini perubahan arsitektur.
Selain itu, upgrade besar seperti memperbesar blok berkali-kali lipat bakal membuat banyak node rumahan gugur, sehingga Ethereum harus siap menerima penurunan ekstrem dalam jumlah validator. Dampaknya bukan sekadar teknis, tetapi juga politis: perubahan itu bisa memecah komunitas, memicu hard fork, dan menciptakan versi-versi Ethereum yang berbenturan visi.
Prosesnya juga tidak bisa dilakukan cepat. Upgrade besar di Ethereum biasanya memakan waktu bertahun-tahun karena harus melewati riset, diskusi panjang, implementasi, pengujian, audit, testnet, dan penyebaran bertahap. Kalau yang diubah adalah fondasi protokol, proses itu akan lebih lama lagi. Ethereum butuh stabil, sehingga perubahan radikal cenderung bergerak lambat dan konservatif.
Jadi, secara teknis mungkin, tetapi secara realistis itu hampir mustahil: terlalu sulit, terlalu mahal, terlalu berisiko, dan bertentangan dengan karakter Ethereum sebagai jaringan yang dibangun untuk tetap terdesentralisasi sebanyak mungkin.


